Jangan Kebiri Nelayan Kecil
Oleh : Jerry Fernandez, SH.,CLARaodah atau yang akrab disapa MN alias Mamak Nopal saat disambangi penulis mengaku tetap berusaha tegar atas apa yang menimpa keluarga kecilnya. "Semua ini kami sikapi sebagai ujian saja dari Allah SWT," ujarnya lirih dengan raut wajah cukup sedih dan mata sedikit berkaca-kaca. Meski demikian, bagi MN, kejadian ini sangatlah "merobek-robek" rasa keadilan bahkan lebih mengarah pada adanya bentuk arogansi kekuasaan.
Kepada penulis MN bercerita, bermula tanggal 6 Februari 2023 sekira pukul 21.00 WITA segerombolan orang yang mengaku berasal dari Tim Penyidik Unit Reserse dan Kriminal Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Polres Tarakan mendatangi kediaman Sdr. Ismail di pesisir pantai kawasan Jembatan Besi. Kedatangan polisi itu, dikatakan mereka merupakan perintah langsung pejabat Kapolres Tarakan dalam rangka penindakan atas adanya dugaan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Kapal SB. Ismail Express (GT-6) berikut muatannya berupa Ikan Layang dan Cumi yang diklaim merupakan "barang" ilegal sekaligus juga motoris yang terakhir kali mengadakan perjalanan dari Sebatik ke Tarakan.
Atas dasar menghormati petugas dan karena merasa tidak melakukan kesalahan sebagai wujud iktikad baik, lanjut MN, maka sang suami (Aidil Rahmat alias Junet Bin Baharuddin) menuruti saja kemauan dari rombongan polisi yang diketahui belakangan dipimpin oleh IPDA Febri Fatahillah (Kanit Tipidter Reskrim Polres Tarakan) tersebut agar sang suami mengikuti rombongan itu ke kantor polisi untuk dimintai keterangan sekaligus dengan kapal beserta box-box berisi ikan dan cumi milik nelayan kecil tersebut.
Alih-alih menghormati hukum, hal itu justru malah menjadi sebuah bencana tatkala setelah diperiksa dalam kurun waktu 2x24 Jam ternyata pada 8 Februari 2023 sang suami yang notabene tidak mengerti apa-apa justru malah ditetapkan sebagai Tersangka dan oleh karenanya ditahan untuk kepentingan pemeriksaan hingga saat ini dengan tuduhan dianggap telah melakukan 3 bentuk tindak pidana sekaligus yakni meliputi bidang pelayaran sebagaimana UU No 17 Tahun 2008, bidang perikanan sebagaimana dimaksud UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009, UU Karantina Ikan dan juga UU Cipta Kerja hal mana tentu saja membuat sang suami dan juga pemilik kapal SB. Ismail Express menjadi sangat terkejut/syok.
Terlebih lagi, menurut penulis tim penyidik seolah sama sekali tidak memperdulikan tata cara pelaksanaan tugas yang seharusnya dilakukan dalam proses penegakan hukum dalam mengambil tindakan yang bersifat sebagai upaya paksa sebagaimana diatur undang-undang termasuk namun tidak terbatas pada pasal 16 hingga 19 KUHAP dan/atau pasal 37 ayat (1) huruf a dan b Perkap No. 14 tahun 2012 yang mana atas hal itu penulis sendiri telah mengirimkan surat keberatan tertanggal 6 Maret 2023 kepada pihak Polres Tarakan.
Menurut penulis lagi, sejatinya hal ihwal yang dituduhkan kepada Junet secara garis besar bukanlah merupakan kewajiban bagi Junet sebagai motoris dan Kapal SB. Ismail Express yang masuk klasifikasi Nelayan Kecil dan Kapal Pengangkut Kecil (Kategori Sungai dan Danau). Prasyarat sebagaimana UU Pelayaran bagi pembuat UU dimaksudkan bagi kapal dengan klasifikasi 35 GT hingga 100 GT sedangkan kegiatan Junet itu hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Mengingatkan kembali suatu adagium yang bertitik tolak dari Asas In Dubio Proreo yang mana telah tereksaminasi dan teranotasi oleh Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 33 K/MIL/2009 yang berbunyi "lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Sehingga tidaklah terlalu berlebihan jika Junet segera dilepaskan. Apalagi merupakan suatu kewajiban bagi setiap warga negara untuk menghormati hak asasi warga negara lainnya. Ditambah lagi, merujuk pada asas "Geen Straf Zonder Schuld" yang berarti "Tiada Pidana Tanpa Kesalahan dan Tiada Kesalahan Tanpa Kemanfaatan". Pemerintah yang tidak menyediakan layanan, tentu tidak elok jika masyarakat yang jadi tumbalnya.
EmoticonEmoticon