Sebagai salah satu dari pecinta kopi yang ada di kota ini
saya jujur merasakan ada yang kurang. Masih ada satu kopi yang dapat dengan
mudah diperoleh di Bumi Paguntaka ini, Kopi Toraja. Saya telah berwisata
kuliner, kalau boleh dibilang begitu, dari satu warung ke warung lain dan dari
kafe ke satu kafe tapi satupun belum ada yang menyediakan pilihan menu kopi
Toraja.
Satu – satunya cara menikmati kopi Toraja saat ini adalah
dengan pesan ke teman, saudara atau kenalan yang kebetulan pulang kampung ke
Tana Toraja atau Sulawesi. Bisa jadi satu tahun sekali baru bisa menikmati kopi
Toraja.
Jujur saja saya bukan type fanatik kopi satu daerah tertentu.
Selama masih bisa menemukan nikmat dari secangkir kopi, darimanapun asalnya
kopi tersebut, tidak menjadi satu persoalan bagi saya. Itulah mungkin yang menjadi penyebab mengapa sampai
saat ini saya termasuk peggila kopi yang tidak terlalu bisa membedakan cita
rasa kopi. Klaim pecinta saya anggap pantas jadi satu kebanggaan tersendiri
karena saya telah menjadi “pengopi” sejak saya duduk di bangku Taman Kanak –
kanak sekitar tiga puluhan tahun silam. Tradisi keluarga yang selalu menyuguhkan Kopi
Kothok, kopi yang direbus bersamaan dengan gula dan air bahkan sampai sekarang
masih sering saya lakukan, minimal sekali dalam satu minggu.
Perkenalan dengan Kopi Toraja untuk pertama kali menyisakan
pertanyaan yang belum terjawab. Di kota ini kan banyak saudara kita yang
berasal dari Tana Toraja? Tapi kenapa tak mudah bagi kita untuk mendapatkan
Kopi Toraja. Kopi dengan aroma wangi yang unik dan rasa gurih ciri khas yang konon
menjadi daya tarik tersendiri kopi Toraja bagi para pecinta kopi. Rasa kopi
yang tidak cukup pahit dan rendah asam sebagai salah satu pilihan bagi kita
dengan kondisi lambung yang tidak toleran terhadap rasa asam yang tinggi ini
saya yakin akan bisa menjadi satu komoditas, jika kita bisa mendatangkan di
Bumi Paguntaka. Atau jangan – jangan sekarang sudah ada kafe baru yang
menjualnya?!... Semoga deh...!