Masih teringat, saat akan merantau ke Kota Tarakan dulu, 14
tahun silam. Jangankan Tarakan, pergi ke Kalimantan Timur (sekarang malah udah jadi Kaltara) saja belum pernah.
Mikir saya waktu itu, Tarakan adalah bagian dari pulau besar Kalimantan. So,
saat membuka peta barulah tahu kalau Tarakan ternyata hanya sebuah pulau kecil
yang ada di sebelah utara Kalimantan. Alhamdulillah waktu itu itu belum kenal
internet, kalo udah kenal justru aku
mungkin bisa batal menjadi Tarakanis..
Rumah Bundar, Saksi Sejarah Kota Tarakan |
Oke, untuk posting kali ini nyoba bahas tentang sejarah
Tarakan, mohon dimaklumi referensi terbatas so ambil sana dan sini (paling
banyak sih dari Wikipedia) jadilah profil masa silam Bumi Paguntaka, Tarakan –ku
tercinta.
Tarakan menurut cerita rakyat berasal dari bahasa tidung (suku tidung adalah suku asli Kalimantan yang
tinggal di pulau Tarakan dan pulau2 sekitarnya) “Tarak” (bertemu) dan “Ngakan”
(makan) yang secara harfiah dapat diartikan “Tempat para nelayan untuk
istirahat makan, bertemu serta melakukan barter hasil tangkapan dengan nelayan
lain. Selain itu Tarakan juga merupakan tempat pertemuan arus muara Sungai
Kayan, Sesayap dan Malinau.
Kerajaan Tidung atau
dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang
memerintah Suku Tidung di Kalimantan Utara, yang berkedudukan di Pulau Tarakan
dan berakhir di Salimbatu. Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini,
selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di
Tanjung Palas. Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa dipesisir timur
Pulau Tarakan yaitu di kawasan Dusun Binalatung sudah ada Kerajaan Tidung Kuno
(The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira pada tahun 1076-1156, kemudian
berpindah ke pesisir selatan Pulau Tarakan di kawasan Tanjung Batu pada tahun
1156-1216, lalu bergeser lagi ke wilayah barat yaitu ke kawasan Sungai Bidang
kira-kira pada tahun 1216-1394, setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh
dari Pulau Tarakan ke daerah Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning,
sekitar tahun 1394-1557, dibawah pengaruh Kesultanan Sulu.
Dari riwayat-riwayat yang terdapat dikalangan suku Tidung
tentang kerajaan yang pernah ada dan dapat dikatakan yang paling tua di antara
riwayat lainnya yaitu dari Menjelutung di Sungai Sesayap dengan rajanya yang
terakhir bernama Benayuk. Berakhirnya zaman Kerajaan Menjelutung karena ditimpa
malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat sehingga
mengakibatkan perkampungan di situ runtuh dan tenggelam kedalam air (sungai)
berikut warganya. Peristiwa tersebut dikalangan suku Tidung disebut Gasab yang
kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari Menjelutung.
Dari beberapa sumber didapatkan riwayat tentang masa
pemerintahan Benayuk yang berlangsung sekitar 35 musim. Perhitungan musim
tersebut adalah berdasarkan hitungan hari bulan (purnama) yang dalam semusim
terdapat 12 purnama. Dari itu maka hitungan musim dapat disamakan lebih kurang
dengan tahun Hijriah. Apabila dirangkaikan dengan riwayat tentang beberapa
tokoh pemimpin (Raja) yang dapat diketahui lama masa pemerintahan dan
keterkaitannya dengan Benayuk, maka diperkirakan tragedi di Menjelutung
tersebut terjadi pada sekitaran awal abad XI. Kelompok-kelompok Suku Tidung
pada zaman Kerajaan Menjelutung belumlah seperti apa yang terdapat sekarang
ini, sebagaimana diketahui bahwa dikalangan Suku Tidung yang ada di Kalimantan
Timur dan Utara sekarang terdapat 4 (empat) kelompok dialek bahasa Tidung,
yaitu :
* Dialek bahas
Tidung Malinau
* Dialek bahasa
Tidung Sembakung.
* Dialek bahas
Tidung Sesayap.
* Dialek bahas
Tidung Tarakan yang biasa pula disebut Tidung Tengara yang kebanyakan bermukim
di daerah air asin.
Dari adanya beberapa dialek Bahasa Tidung yang merupakan
kelompok komunitas berikut lingkungan sosial budayanya masing-masing, maka
tentulah dari kelompok-kelompok dimaksud memiliki pemimpin masing-masing.
Sebagaimana diriwayatkan kemudian bahwa setelah Kerajaan Benayuk di Menjelutung
runtuh maka anak keturunan beserta warga yang selamat berpindah dan menyebar
kemudian membangun pemukiman baru. Salah seorang dari keturunan Benayuk yang
bernama Kayam selaku pemimpin dari pemukiman di Linuang Kayam (Kampung si
Kayam) yang merupakan cikal bakal dari pemimpin (raja-raja) di Pulau Mandul,
Sembakung dan Lumbis.
Berikut adalah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan
Tidung :
* Benayuk dari
sungai Sesayap, Menjelutung (Masa Pemerintahan ± 35 Musim)
* Yamus (Si Amus)
(Masa Pemerintahan ± 44 Musim)
* Ibugang (Aki Bugang)
* Itara (Lebih
kurang 29 Musim)
* Ikurung (Lebih
kurang 25 Musim)
* Ikarang (Lebih
kurang 35 Musim), di Tanjung Batu (Tarakan).
* Karangan (Lebih
kurang Musim)
* Ibidang (Lebih
kurang Musim)
* Bengawan (Lebih
kurang 44 Musim)
* Itambu (Lebih
kurang 20 Musim)
* Aji Beruwing
Sakti (Lebih kurang 30 Musim)
* Aji Surya Sakti
(Lebih kurang 30 Musim)
* Aji Pengiran
Kungun (Lebih kurang 25 Musim)
* Pengiran Tempuad
(Lebih kurang 34 Musim)
* Aji Iram Sakti
(Lebih kurang 25 Musim) di Pimping, Bulungan
* Aji Baran Sakti
(Lebih kurang 20 Musim).
* Datoe Mancang
(Lebih kurang 49 Musim)
* Abang Lemanak
(Lebih kurang 20 Musim), di Baratan, Bulungan
* Ikenawai
bergelar Ratu Ulam Sari (Lebih kurang 15 Musim)
Era Dinasti Tengara
Dinasti Tengara bermulai pada tahun 1557-1916 Masehi,
dinasti ini pertama kali dipimpin oleh Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet
pada tahun 1557 Masehi dan berakhir pada saat dipimpin oleh Datoe Adil pada
tahun 1916, Dinasti Tengara berlokasi di kawasan Pamusian, Tarakan Tengah
Berikut adalah raja-raja yang pernah berkuasa pada masa
Dinasti Tengara :
* Amiril Rasyd
Gelar Datoe Radja Laoet (1557-1571)
* Amiril Pengiran
Dipati I (1571-1613)
* Amiril Pengiran
Singa Laoet (1613-1650)
* Amiril Pengiran
Maharajalila I (1650-1695)
* Amiril Pengiran
Maharajalila II (1695-1731)
* Amiril Pengiran
Dipati II (1731-1765)
* Amiril Pengiran
Maharajadinda (1765-1782)
* Amiril Pengiran
Maharajalila III (1782-1817)
* Amiril
Tadjoeddin (1817-1844)
* Amiril Pengiran
Djamaloel Kiram (1844-1867)
* Ratoe Intan
Doera/Datoe Maoelana (1867-1896), Datoe Jaring gelar Datoe Maoelana adalah
putera Sultan Bulungan Muhammad Kaharuddin (II)
* Datoe Adil
(1896-1916)
Era Hindia Belanda
Ketenangan masyarakat setempat agak terganggu ketika pada
tahun 1896, sebuah perusahaan perminyakan Belanda, BPM (Bataavishe Petroleum
Maatchapij) menemukan adanya sumber minyak di pulau ini. Banyak tenaga kerja
didatangkan terutama dari pulau jawa seiring dengan meningkatnya kegiatan
pengeboran. Mengingat fungsi dan perkembangan wilayah ini, pada tahun 1923
Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu untuk menempatkan seorang Asisten
Residen di pulau ini yang membawahi 5 (lima) wilayah, yakni: Tanjung Selor,
Tarakan, Malinau, Apau Kayan dan Berau. Namun pada masa pasca kemerdekaan,
Pemerintah RI merasa perlu untuk mengubah status kewedanan Tarakan menjadi
Kecamatan Tarakan sesuai dengan Keppress RI No. 22 Tahun 1963.
Era Pendudukan Jepang
Pada saat pendaratan Sekutu, angkatan Jepang di Tarakan
berjumlah 2.200 orang yang didatangkan dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang
dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Satuan terbesar adalah Batalion Infantri
Independen ke-455 yang berkekuatan 740 orang yang dikomandoi oleh Mayor Tadai
Tokoi. 150 pasukan pendukung AD juga ada di Tarakan. Sumbangan AL kepada
garnisun Tarakan tersusun atas 980 pelaut yang dikomandoi oleh Komandan Kaoru
Kaharu. Satuan laut utama adalah Angkatan Garnisun Laut ke-2 yang berkekuatan
600 orang. Satuan laut ini dilatih bertempur sebagai infantri dan
mengoperasikan beberapa senapan pertahanan pesisir. 350 pekerja minyak sipil
Jepang juga diharapkan bertempur pada saat serangan Sekutu. Angkatan Jepang
termasuk sekitar 50 orang Indonesia yang berdinas di satuan pengawal pusat.
Mayor Tokoi mengarahkan keseluruhan pertahanan Tarakan, meskipun hubungan
antara AL dan AD buruk.
Angkatan Jepang dipusatkan di sekitar Lingkas, pelabuhan
utama Tarakan dan tempat satu-satunya pantai yang cocok untuk pendaratan
pasukan Pembela itu telah menghabiskan waktu beberapa bulan sebelum
serangan yang menyusun posisi bertahan dan menanam ranjau. Pertahanan yang
diatur itu banyak dipakai selama pertempuran, dengan taktik Jepang yang
difokuskan pada posisi bertahan pra-persiapan yang kuat. Jepang tak melakukan
kontra-serangan besar apapun, dan kebanyakan gerakan menyerang terbatas pada
beberapa pihak penyerang yang mencoba menyelusup garis Australia.
Mendapatkan ladang minyak Tarakan adalah satu tujuan awal
Jepang selama Perang Pasifik. Jepang menyerang Tarakan pada tanggal 11 Januari
1942 dan mengalahkan garnisun Belanda yang kecil dalam pertempuran yang
berlangsung selama 2 hari di mana separuh pasukan Belanda gugur. Saat ladang
minyak Tarakan berhasil disabotase oleh Belanda sebelum penyerahannya, Jepang
bisa dengan cepat memperbaikinya agar bisa menghasilkan lagi dan 350.000 barel
diproduksi tiap bulan dari awal tahun 1944.
Menyusul penyerahan Belanda, 5.000 penduduk Tarakan amat
menderita akibat kebijakan pendudukan Jepang. Banyaknya pasukan Jepang yang
ditempatkan di pulau ini mengakibatkan penyunatan bahan makanan dan sebagai
akibatnya banyak orang Tarakan yang kurang gizi. Selama pendudukan itu, Jepang
membawa sekitar 600 buruh ke Tarakan dari Jawa. Jepang juga memaksa sekitar 300
wanita Jawa untuk bekerja sebagai "jugun ianfu" (wanita penghibur) di
Tarakan setelah membujuk mereka dengan janji palsu mendapatkan kerja sebagai juru
tulis maupun membuat pakaian.
Arti penting Tarakan bagi Jepang makin menguap dengan gerak
maju cepat angkatan Sekutu ke daerah itu. Tanker minyak Jepang yang terakhir
meninggalkan Tarakan pada bulan Juli 1944, dan serangan udara Sekutu yang hebat
pada tahun-tahun itu menghancurkan produksi minyak dan fasilitas penyimpanan di
pulau itu. Serangan ini juga membunuh beberapa ratus penduduk sipil
Indonesia. Sejalan dengan kepentingannya yang makin menurun, garnisun
Jepang di Tarakan berkurang pada awal 1945 saat salah satu dari 2 batalion
infantri yang ditempatkan di pulau itu (Batalion Infantri Independen ke-454)
ditarik ke Balikpapan. Batalion ini dihancurkan oleh Divisi ke-7 Australia pada
bulan Juli selama Pertempuran Balikpapan.
Era Kemerdekaan
Letak dan posisi yang strategis telah mampu menjadikan
kecamatan Tarakan sebagai salah satu sentra industri di wilayah Provinsi
Kalimantan Timur bagian utara sehingga pemerintah perlu untuk meningkatkan
statusnya menjadi Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 47
Tahun 1981.
Status Kota Administratif kembali ditingkatkan menjadi
Kotamadya berdasarkan Undang-undang RI No. 29 Tahun 1997 yang peresmiannya
dilakukan langsung oleh Menteri dalam Negeri pada tanggal 15 Desember 1997,
sekaligus menandai tanggal tersebut sebagai Hari Jadi Kota Tarakan.
Sejak tahun 2012, Kota Tarakan merupakan bagian dari
Provinsi Kalimantan Utara, seiring dengan pemekaran provinsi baru tersebut dari
Provinsi Kalimantan Timur.
Referensi:
1.
id.wikipedia.org
tarakantourism.com